Teleskop James Webb Temukan Atmosfer Layak Huni di Planet Mirip Bumi
Penemuan atmosfer kaya oksigen dan metana di planet K2-18b membuka kemungkinan adanya kehidupan mikroba di luar tata surya.

Penemuan atmosfer layak huni pada planet K2-18b oleh Teleskop James Webb (JWST) menandai tonggak baru dalam eksplorasi astronomi modern.
Untuk pertama kalinya, para ilmuwan berhasil mendeteksi komposisi kimia atmosfer yang menyerupai Bumi pada planet di luar tata surya — menunjukkan adanya kombinasi metana (CH₄), karbon dioksida (CO₂), dan jejak dimetil sulfida (DMS), gas yang di Bumi sebagian besar dihasilkan oleh organisme hidup di lautan.
Temuan ini memperluas cakrawala pencarian kehidupan, sekaligus memicu diskusi ilmiah baru tentang batas definisi planet layak huni.
Karakteristik K2-18b dan Zona Layak Huni
K2-18b terletak sekitar 120 tahun cahaya dari Bumi, di konstelasi Leo, dan mengorbit bintang katai merah K2-18, yang memiliki massa hanya 45% dari Matahari.
Planet ini dikategorikan sebagai sub-Neptunus, dengan ukuran sekitar 2,6 kali Bumi dan massa delapan kali lebih besar.
Namun yang paling menarik, planet ini berada di dalam zona layak huni (habitable zone) — area di mana suhu permukaan memungkinkan keberadaan air dalam bentuk cair.
Penelitian spektrum inframerah menggunakan instrumen NIRSpec dan NIRISS pada JWST menunjukkan bahwa K2-18b memiliki atmosfer kaya hidrogen yang menutupi lapisan air cair di bawahnya.
Para ilmuwan menyebut tipe planet seperti ini sebagai “Hycean World” — dunia yang didominasi air dengan atmosfer ringan yang kaya hidrogen, berpotensi mendukung kehidupan mikroba di bawah awan tebalnya.
Analisis Spektroskopi dan Indikasi Kehidupan
Metode utama yang digunakan JWST adalah transit spectroscopy, yakni analisis perubahan cahaya bintang ketika planet melintas di depannya.
Dari pola penyerapan cahaya, ilmuwan dapat mengidentifikasi unsur kimia penyusun atmosfer planet tersebut.
Dalam kasus K2-18b, pola spektrum yang khas menunjukkan keberadaan CH₄ dan CO₂ dalam proporsi yang mirip dengan lingkungan laut di Bumi purba.
Namun, yang paling memicu antusiasme adalah indikasi adanya dimetil sulfida (DMS).
Di Bumi, gas ini hampir secara eksklusif dihasilkan oleh fitoplankton laut — mikroorganisme fotosintetik yang memainkan peran penting dalam siklus karbon global.
Jika keberadaan DMS pada K2-18b terkonfirmasi, ini dapat menjadi indikator biologis (biosignature) pertama yang terdeteksi di luar tata surya.
Para ilmuwan berhati-hati menafsirkan hasil ini karena DMS juga bisa terbentuk melalui proses non-biologis di atmosfer ekstrem.
Oleh karena itu, pengamatan tambahan dengan panjang gelombang berbeda akan dilakukan untuk memverifikasi asal senyawa tersebut.
Tantangan Interpretasi dan Fenomena Atmosfer
Meski hasil pengamatan sangat menjanjikan, karakteristik atmosfer K2-18b masih menyisakan sejumlah teka-teki.
Kerapatan atmosfer yang tinggi dan tekanan di lapisan bawah membuat pengukuran langsung terhadap suhu permukaan hampir mustahil.
Beberapa model simulasi menunjukkan bahwa lapisan air cair kemungkinan berada di bawah atmosfer setebal ribuan kilometer, menyerupai “samudra global” yang tertutup kabut metana.
Faktor lainnya adalah aktivitas bintang induk.
K2-18 sebagai bintang katai merah memiliki fluktuasi radiasi ultraviolet yang tinggi, yang dapat mengubah komposisi atmosfer secara kimiawi melalui proses fotolisis.
Artinya, sebagian gas seperti metana dan DMS bisa dihasilkan tanpa kehadiran organisme hidup, melainkan melalui reaksi energi tinggi di lapisan atas atmosfer.
Kondisi ini menuntut kehati-hatian ekstra dalam menafsirkan data, karena fenomena mirip biologis dapat muncul dari mekanisme abiotik (non-hayati).
Implikasi bagi Astrobiologi dan Misi Selanjutnya
Penemuan K2-18b memberikan bukti kuat bahwa kehidupan mungkin tidak terbatas pada planet berbatu seperti Bumi.
Dunia berair berukuran menengah dengan atmosfer hidrogen kini dianggap sebagai kandidat potensial yang bahkan lebih umum di galaksi.
Dalam skala statistik, model terbaru dari NASA memperkirakan bahwa setiap bintang di galaksi kita mungkin memiliki satu planet yang berpotensi layak huni, sebagian besar berupa dunia Hycean seperti K2-18b.
Misi lanjutan menggunakan JWST akan difokuskan pada pemindaian inframerah panjang gelombang untuk mendeteksi senyawa tambahan seperti amonia (NH₃) dan ozon (O₃), yang dapat memperkuat dugaan adanya aktivitas biologis.
Selain itu, teleskop masa depan seperti Nancy Grace Roman Space Telescope (2027) dan LUVOIR (2030-an) akan dilengkapi dengan koronagraf ultra-sensitif untuk memisahkan cahaya planet dari bintang induknya, memungkinkan analisis atmosfer secara lebih presisi.
Perspektif Baru dalam Pencarian Kehidupan
Penemuan ini menantang asumsi lama bahwa kehidupan hanya bisa muncul di planet seperti Bumi.
Dalam pandangan baru astrobiologi, “kehidupan” bukan lagi konsep yang eksklusif terhadap bentuk biologis kita, melainkan bagian dari spektrum luas interaksi kimia, energi, dan ekosistem.
Jika atmosfer K2-18b benar mengandung senyawa biologis, maka keberadaan kehidupan di alam semesta mungkin bukan pengecualian, melainkan konsekuensi alami dari hukum fisika dan kimia kosmik.
Dengan kemampuannya menembus batas pandangan manusia terhadap ruang dan waktu, Teleskop James Webb tidak hanya memperluas wawasan ilmiah, tetapi juga menggugah refleksi eksistensial:
bahwa di antara miliaran bintang dan planet di galaksi kita, kemungkinan besar ada dunia lain yang sedang memandang langitnya — dengan pertanyaan yang sama tentang asal-usul kehidupan.
Komentar